Sebuah buku yang membuat saya terkesima, entah bagaimana dulu ceritanya saya menemukan buku itu. Sebuah biografi yang menenggelamkan saya dengan berbagai kejadian dan peristiwa sepanjang sejarah kehidupan sang tokoh.
Seorang anak laki-laki yang sejak kecilnya sudah mencintai buku. Dia larut dalam lautan buku di perpustakaan kecil milik ayahnya. Berjam-jam ia habiskan waktu untuk membaca di sana. Dia lebih menggemari membaca buku dari pada bermain dengan anak-anak seusianya. Sosok itu adalah Ali Syari’ati. Tokoh sosiolog Islam dari Teheran dan pernah menimba ilmu di Sorbone, Perancis.
Satu bagian dari kehidupan dia yang membuat saya takjub adalah kecintaan dia terhadap ilmu pengetahuan. Sejak belia sudah terbiasa menghabiskan waktu di perpustakaan. Banyak buku-buku penulis hebat sudah menjadi santapan dia. Dari buku-buku sastra, sosiologi, politik, hukum, buku-buku Islam, dan juga buku-buku filsafat yang cukup berat. Padahal usianya masih terbilang anak-anak, lebih kurang sembilan tahun.
Salah satu buku sastra yang mempengaruhi pemikirannya adalah Les Misrable karya Victor Hugo (btw saya akhirnya juga membaca novel itu sejak menyelami biografi Ali Syari’ati, padahal sudah kenal lama), buku lain yang juga mempengaruhi hidupnya adalah buku tasawuf karya Maulana Jalaluddin Rumi yaitu Matsnawi, karya Fariduddin Attar Tazkirat al Auliya juga tak luput dari santapannya. Karya inilah yang sangat berjasa dalam menyelamatkan hidup Ali Syari’ati ketika ingin mengakhiri hidupnya.
Sisi lain yang juga menarik dari kehidupan sosok ini adalah saat di sekolah, dia malah dianggap anak tidak berbakat karena sering tertidur waktu pelajaran berlangsung. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah dia bosan dengan apa yang dijelaskn oleh gurunya, karena setiap yang dijelaskan oleh mereka Ali sudah lebih jauh mengetahuinya. Sebenarnya kisah ini hampir sama dengan kisah Albert enstein, yeekan..
Dari perjalanan hidup Ali ini, yang menyita perhatian saya adalah bagaimana kecerdasannya yang sangat meningkat, kualitas keilmuannya melebihi guru-gurunya, dan dikatakan bahwa kecerdasan Ali di tingkat sekolah dasar saat itu (1947) sembilan puluh sembilan (99) kali lebih maju dibandingkan gurunya. Haahhh! inilah yang membuat saya takjub, tentu ini buah dari kegemarannya membaca buku.
Buku baginya adalah nyawa, hingga tidak pernah membuat ia bosan untuk selalu berada di perpustakaan. Hingga ia tumbuh menjadi tokoh yang disegani, dan menjadi dosen favorit pada masa itu. Ia juga salah seorang orator yang digemari di kalangan anak muda masa itu. Setiap kuliahnya selalu dibanjiri oleh kalangan anak muda. Ruang kuliahnya selalu penuh dan meluber sampai keluar. Kritikannya terhadap kondisi negara saat itu, turut berkontribusi terjadinya revolusi Islam Iran.
Satu hal yang ingin saya garis bawahi dari kisah ini, tentang bagaimana semangat membaca buku akan membawa banyak perubahan dalam hidup kita. Yang pasti akan lebih bersinar, karena gizi dan mutiara yang terpendam dalam lembaran dan halaman buku-buku terserap oleh jiwa.
Kita juga tahu bagaimana para ulama-ulama besar terdahulu dalam meraih keilmuannya. Demikian kuat perjuangan mereka dalam menggali ilmu. Kisah imam besar Muhammad bin hasan Asy syaibani, demi bisa belajar dan memahami kitab-kitab para ulama, beliau rela tidak pernah tidur. Tidak pernah menyerah dalam berjuang. Dan tentunya ada banyak kisah para ulama besar lainnya yang mewaqafkan umurnya utk menuntut ilmu.
Jika kita kembali kepada masa dimana Rasulullah menerima wahyu pertama, Yaitu Iqra, ayat yang mengandung perintah membaca, menggali ilmu, meneliti, mengamati, merenung. Ini adalah sebagai bukti bahwa ilmu begitu penting dan sangat berperan dalam kehidupan, dan juga sarana kita dalam meraih keridhaan Allah serta meraih kebahagiaan dunia akhirat. Amiin!
Semoga kita dimampukan utk mengikuti jejak mereka yang mencintai ilmu.
Catatan saat malam mulai beranjak